Jumat, 18 Januari 2013

Hidup Sederhana Lebih Bahagia


Hidup Sederhana Lebih Bahagia  


Sudah 12 tahun Daniel Suelo, 51 tahun, memutuskan tidak mau lagi terlibat dengan uang. Ia meletakkan uang terakhirnya senilai US$ 30 di sebuah telepon umum di Moab, Utah, Amerika Serikat. Bukannya hidup sengsara, malah kedamaian yang ia dapat. Dalam blognya Suelo mengatakan filosofinya adalah tidak menggunakan atau menerima uang. Bahkan ia tidak mengambil kupon makanan atau sedekah dari pemerintah.

“Saya menggunakan apa yang diberikan atau dibuang,” katanya. Ia menolak sistem keuangan dunia yang mengharuskan setiap orang memiliki uang. Ia juga membuang paspor, surat izin mengemudi, dan mengubah nama belakangnya dari Shellabarger menjadi Suelo, yang artinya tanah dalam bahasa Spanyol.

Sehari-hari, ia tinggal dalam sebuah gua di Arches National Park, Utah. Ia mengukir batu menjadi tempat tidur dan mandi di tepi sungai. Banyak pendaki gunung menggunakan “rumah”-nya sebagai tempat istirahat. Makanan ia dapat dengan cara berburu atau mengambul sisa-sisa makanan orang lain. Bangkai binatang yang tertabrak kendaraan bermotor pun ia makan. Suelo mengaku sangat bahagia menjalani kehidupannya sekarang. Hidupnya jauh lebih sederhana dan tanpa banyak masalah.

Di Jerman, ada pula wanita yang hidup dengan cara serupa. Heidemarie Schwermer, 68 tahun, selama 16 tahun tidak memakai uang. Ia mengaku hidupnya menjadi sangat bahagia. Padahal ia terlahir dari keluarga pengusaha sukses. Perang dunia sempat membuat keluarganya jatuh miskin, tapi bisa bangkit kembali dengan mendirikan perusahaan rokok.

Schwermer mengaku sudah mati rasa dengan uang sejak saat itu. Ia menjadi terobsesi menemukan cara hidup tanpa uang. Pada 1994, ia sempat membuat komunitas sistem barter barang dan jasa bernama Give and Take Central. Jasa penukaran yang ditawarkan meliputi layanan membersihkan uang atau mengasuh anak dengan imbalan barang. Komunitas ini membuat kebutuhannya akan uang berkurang.

Setelah dua anaknya dewasa, ia menjual semua yang ia miliki, termasuk apartemen. Ia hanya hidup dengan mengandalkan barang-barang kecil yang ia simpan dalam sebuah koper. “Aku melihat kehidupan baru setelah itu,” ujarnya. “Aku tidak ingin kembali ke kehidupan lama.” Ia sering menerima pakaian dari teman. Sebagai gantinya, ia menyumbang apa yang bisa diberikan.

Tempat tinggalnya pun berpindah-pindah. Schwermer tidak pernah merasa khawatir. Ia tidak ambil pusing harus tidur di mana malam ini atau esok harinya. Ia memperoleh makanan dari sisa sayuran yang dijual di pasar tradisional. Terkadang ia menjual jasa membersihkan toko dengan imbalan makanan. Ia juga melakukan perjalanan ke luar negeri seperti orang pada umumnya.

Schwermer pernah memberikan seminar di Austria, Swiss, dan Italia. Ia menyampaikan pesan soal bagaimana menjalani hidup dengan cara yang lebih mudah. Proses hidup tanpa uang ini telah membuatnya menyadari bahwa hidup terus berjalan selama ia mampu menerima apa pun yang akan terjadi. Menurut dia, uang tidak ada nilainya dan tidak bisa memberikan kebahagiaan.

Sebuah penelitian dari Haas School of Business, University of California, Berkeley, membuktikan bahwa jumlah uang tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan. Penelitian yang dipublikasikan pada Rabu pekan lalu ini justru menyatakan hubungan sosial lebih penting. “Orang lebih bahagia jika merasa dihormati, berpengaruh, dan menjadi panutan dalam lingkungannya,” kata ilmuwan psikologi, Cameron Anderson.

Masalahnya, banyak orang menganggap dihormati dan menjadi panutan bisa dilakukan bila mereka kaya raya. Inilah yang membuat orang terus-menerus mengumpulkan uang, meski kebutuhan sehari-harinya sudah terpenuhi.

Dari empat studi yang ia lakukan, salah satunya ia terapkan pada para mahasiswa yang mengambil jurusan Master of Business Administration di University of California, Berkeley. Mahasiswa yang memiliki hubungan baik dengan lingkungan sekitar menjalani kehidupan yang bahagia, sedangkan yang kaya raya belum tentu. Penjelasan yang paling masuk akal, menurut Anderson, adalah suka cita yang datang seiring dengan hadirnya uang akan menyusut secepat seseorang menjadi terbiasa dengan kekayaannya itu.

“Pemenang lotere, sebagai contoh, bisa langsung merasa bahagia. Tapi ia akan kembali merasa tidak puas dan mencari kebahagiaan lain,” ujarnya. Proses adaptasi seperti itu tidak akan terjadi pada status sosial. Manusia merasa hidupnya lengkap kalau bisa memiliki ikatan yang baik dengan orang sekitarnya. “Dihormati, memiliki pengaruh, dan mampu berinteraksi tidak pernah ketinggalan zaman,” kata Anderson

Tidak ada komentar:

Posting Komentar